WEBMINAR FH UKDC & SSMP: PROSES LIKUIDASI HARUS PERHATIKAN HAK KREDITOR

SURABAYA, JAWA TIMUR – Pandemi sejak Maret 2020 berdampak langsung pada kelangsungan bisnis. Ketika operasional dan produksi tidak kunjung membaik karena pandemi, maka kemungkinan terburuk perlu disiapkan oleh badan usaha. Mekanisme likuidasi adalah salah satu yang dapat ditempuh.

Pemaparan tentang prosedur likuidasi dan perlindungan hak kreditor dalam likuidasi disampaikan oleh Abigail Sekar Ayu, associate dari Siregar Setiawan Manalu Partnership (SSMP), dalam webminar pada Jumat (02/10/2020). Webminar tersebut diselenggarakan secara daring sebagai tindak lanjut kerjasama dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran di FH UKDC.

“Prosedur likuidasi harus berpegang pada Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas bahwa likuidasi dilakukan oleh likuidator atau kurator yang ditentukan oleh RUPS,” ujar Abigail.

Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, likuidator wajib memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan.  Pengumuman pembubaran perseroan dilakukan dengan cara diumumkan dalam surat kabar dan Berita Republik Indonesia.

 

Selain diumumkan dalam surat kabar, likuidator juga wajib memberitahukan pembubaran Perseroan kepada Menteri. Hal itu dilakukan untuk mencatatkan Perseroan ke dalam daftar Perseroan bahwa sedang dalam likuidasi. Pemberitahuan pembubaran perseroan kepada Menteri harus dilengkapi dengan bukti.

Sebagai bentuk perlindungan terhadap kreditor, maka kreditor berhak untuk mengajukan tagihan melalui Pengadilan Negeri. Tentunya pengajuan tagihan tersebut harus memperhatikan jangka waktu pengajuan tagihan agar dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak.

“Walaupun sisi kepastian sedapat mungkin dijamin, perlu juga diperhatikan aspek-aspek lain yang seringkali berpengaruh dalam proses likuidasi. Misalnya pemegang saham yang tidak harmonis serta organ perseroan yang tidak kooperatif,” tutup Abigail. (vin)