Artikel Opini

Hukum, Sibernetika, dan Revolusi Kebudayaan

Victor Imanuel W. Nalle

 

Norbert Wiener di tahun 1947 memperkenalkan istilah sibernetika. Sibernetika merujuk pada hubungan antar sub-sistem dalam menyalurkan informasi. Konsep yang sempat dicibir namun menjadi cikal bakal internet saat ini.

Talcott Parsons kemudian mengembangkan konsep sibernetika tersebut dalam konteks sosiologi. Parsons menempatkan sub-sistem masyarakat ke dalam sub-sistem budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Keempat sub-sistem tersebut saling terjalin dengan ekonomi dan politik sebagai sub-sistem yang memiliki energi paling besar, sedangkan budaya dan sosial yang memiliki tingkat informasi paling tinggi berfungsi mengendalikan ekonomi dan politik.

Sangat jelas sub-sistem ekonomi dan politik memiliki pengaruh yang besar terhadap hukum yang merupakan bagian dari sub sistem sosial. Logika ini wajar karena hukum, sebagai instrumen rekayasa sosial, tidak dapat menciptakan nilainya sendiri melainkan harus mendapatkannya dari budaya, ekonomi, dan politik (Rahardjo, 1991).

Lalu bagaimana hubungan pendapat Parsons dengan kondisi Indonesia kontemporer pasca Orde Baru? Indonesia pasca Orde Baru yang telah lepas dari developmentalisme dan korporatisme negara ternyata belum menjadi masyarakat modern yang mampu menjalankan konsep ideal sibernetika Parsons dalam kehidupan berhukum. Perkembangan kasus demi kasus akhir-akhir ini membuktikan hipotesis tersebut.

Salah satunya di bidang politik. Skandal-skandal suap selama ini menunjukkan partai politik sebagai organ dalam sub-sistem politik ternyata menjalankan kehidupan ekonomi untuk membiayai hidupnya sendiri. Di sisi lain, hukum tidak mampu merekayasa kondisi agar sistem politik menjadi lebih rasional dan profesional karena hukum dibuat untuk menjaga kehidupan ekonomi partai politik tersebut.

Salah satu contoh konkritnya, sebelum berlakunya UU No. 2 Tahun 2011 tidak ada ketentuan yang mengatur audit keuangan partai politik. Padahal di undang-undang sebelumnya telah diatur bahwa partai politik boleh menerima sumbangan dari siapapun termasuk bantuan keuangan dari negara yang berasal dari APBN/APBD.

Sebelumnya, partai politik bebas menerima sumbangan tanpa diaudit tanpa diketahui oleh publik tentang sumber dana partai politik tersebut. Padahal tentunya kita perlu bertanya jika sebuah partai mampu menyelenggarakan kongres di hotel berbintang lima dengan turut terlibat di dalamnya event organizer, lembaga konsultan politik, dan pastinya tim sukses. Bukan dana sedikit pula yang terlibat di dalamnya.

Setali tiga uang di bidang ekonomi. Kepentingan globalisasi dan pasar bebas telah memberikan pengaruh yang kuat dalam tata hukum nasional. Liberalisasi di bidang pendidikan sempat mendapatkan payung hukumnya lewat UU Badan Hukum Pendidikan, sebelum akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Namun ada lagi UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang sesat dalam menempatkan makna kepentingan umum, sehingga tujuan komersial dapat dimaknai sebagai kepentingan umum. Alih-alih melindungi kepentingan umum, Undang-Undang ini justru melindungi kepentingan korporasi multinasional atas sumber daya alam negara ini.

Kondisi ini, dalam kacamata sibernetika Parsons, menunjukkan bahwa hukum sebagai bagian dari sub sistem digempur dengan energi yang besar oleh sub-sistem ekonomi dan politik. Sub-sistem ekonomi direpresentasikan oleh kepentingan-kepentingan globalisasi dan pasar bebas. Sedangkan politik oleh kepentingan aktor politik yang korup dan haus kekuasaan.

Budaya sebagai sumber nilai-nilai ideal juga belum mampu menjadi penyeimbang. Cinta uang dan kekuasaan menjadi budaya dominan dalam pemerintahan. Kata proklamator kita, Mohammad Hatta, korupsi telah membudaya. Budaya korupsi ini pula yang menumpulkan sistem penegakan hukum dan aparat-aparatnya.

Orde Baru, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, telah melakukan pembangunan ekonomi. Namun Orde Baru gagal dalam pembangunan budaya. Orde Baru justru melanggengkan kultur feodal dalam bentuk patrimonialisme dan hubungan patron-klien dalam melaksanakan pemerintahannya.

Manusia Indonesia dibentuk oleh Orde Baru menjadi manusia Indonesia yang gagal melangkah menuju modernitas. Alih-alih masuk dalam masyarakat birokratik profesional versi Weber, masyarakat Indonesia justru berjalan di tempat sebagai masyarakat tradisional. Walaupun kemudian stagnasi ini berusaha disamarkan dengan memakai baju modern berupa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pembangunan.

Ketika Orde Baru tumbang, bidang sosial, politik, ekonomi melakukan lompatan besar. Perubahan sistem secara besar-besaran dilakukan. Namun banyak yang lupa, bahwa budaya yang terbangun selama Orde Baru tidak siap menghadapi perubahan besar ini. Pada akhirnya hukum, seperti yang kita lihat saat ini, carut marut menjadi mainan para aktor politik dan ekonomi. Hukum tidak disokong oleh masyarakat modern yang kuat dan rasionalitas dalam berhukum belum terbangun.

Jika melihat kondisi saat ini dari perspektif sibernetika Parsons, hukum tidaklah sungguh-sunguh otonom. Hukum dipengaruhi oleh tindakan aktor-aktor ekonomi dan politik. Di sisi lain, seharusnya pula hukum menjadi instrumen mengontrol tindakan-tindakan mereka.

Hukum dapat mengkontrol sub-sistem politik dan ekonomi jika budaya sebagai sumber nilai-nilai telah benar-benar siap dalam tuntutan perangkat-perangkat modernitas ini. Budaya kemudian memberikan nilai-nilai yang mengutamakan rasionalitas dan profesionalitas dalam berhukum. Namun apa yang dapat dilakukan jika budaya kita belum siap dalam berhukum secara rasional?

Jawabnya adalah perubahan besar-besaran dan cepat dalam kebudayaan bangsa ini. Sebut saja proses ini sebagai revolusi kebudayaan. Sebuah perubahan besar dari kultur feodal ke kultur modern. Sebuah perubahan cara pandang dari yang irasional menuju rasional, yaitu kehidupan politik berbasis sistem ketimbang pada ketokohan.

Jika perubahan besar ini sudah dilakukan, maka masyarakat Indonesia benar-benar siap hidup dengan hukum modern. Hukum modern tak mungkin hidup dengan cara pandang tradisional. Rasionalitas tak mungkin bersanding dengan irasionalitas dan sistem takkan berjalan hanya berdasarkan karisma tokoh.(*)

 

Artikel selanjutnya: Dari Kota Gede hingga Pleret