Artikel Opini

Dari Kota Gede hingga Pleret

Victor Imanuel W. Nalle

 

Tahun 2018 lalu ada tiga peristiwa yang mengusik kerukunan masyarakat majemuk di Indonesia dalam aspek yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Persoalan kerukunan selama ini diwacanakan untuk aspek kebebasan beribadah, sedangkan tiga peristiwa yang terjadi di Yogyakarta dan Mojokerto berkaitan dengan persoalan lahan pemakaman.

Peristiwa pertama terjadi di Kotagede, Yogyakarta, yaitu pemotongan bagian atas dari nisan berbentuk salib dari warga yang baru dimakamkan. Pemotongan tersebut dilakukan karena adanya keberatan dari warga terhadap ornamen salib pada wilayah pemakaman yang didominasi oleh makam Muslim.

Peristiwa kedua terjadi di Mojokerto, tepatnya di Desa Ngares Kidul. Sejumlah warga desa menolak almarhumah Nunuk Suartini, seorang pemeluk Kristen, dimakamkan di tempat pemakaman desa dengan argumentasi bahwa wilayah pemakaman tersebut adalah pemakaman Muslim yang berasal dari wakaf.

Peristiwa ketiga kembali terjadi di Yogyakarta, tepatnya di Dusun Karet, Desa Pleret, Bantul, yang menimpa Slamet Jumiarto. Slamet, seorang Katolik, ditolak untuk tinggal di Dusun Karet karena adanya peraturan dusun yang melarang non-Muslim berdomisili di Dusun Karet. Peraturan dusun yang diskriminatif tersebut dilatarbelakangi persoalan ketiadaan makam non-Muslim di desa tersebut.

Kita dapat terjebak untuk menyimpulkan bahwa ketiga peristiwa tersebut terjadi karena pengaruh wacana fundamentalisme agama atau anti-keberagaman terhadap cara berpikir masyarakat. Namun ketiga peristiwa ini juga dapat dibaca sebagai masalah yang timbul dari aspek perubahan sosial dan peran hukum dalam menanggapi kebutuhan penyediaan lahan makam akibat perubahan sosial yang terjadi di tingkat lokal.

Ketiga peristiwa tersebut juga dapat terjadi karena masyarakat cemas ketika mendapatkan pengalaman baru berinteraksi dengan umat yang berbeda. Lebih khusus lagi, kecemasan karena tidak adanya pemakaman untuk non-Muslim di wilayah mereka. Kecemasan akan pengalaman baru ini timbul akibat perubahan demografi yang mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

 

Keterbatasan Regulasi

Pertanyaan penting yang perlu diajukan: bagaimana seharusnya peran negara dalam persoalan penolakan makam tertentu akibat pengalaman baru dalam masyarakat sebagai buah dari perubahan demografi? Salah satu peran yang dapat dilaksanakan negara adalah menyediakan Tempat Pemakaman Umum yang terbuka bagi semua umat dan Indonesia sebenarnya telah memiliki PP No. 9 Tahun 1987 tentang Penyediaan Penggunaan Tanah untuk Keperluan Tempat Pemakaman.

PP No. 9 Tahun 1987 memberi wewenang kepada kepala daerah untuk melakukan penunjukan dan penetapan lokasi tanah untuk keperluan tempat pemakaman umum bagi semua penganut agama. Namun pemberian wewenang di tingkat kabupaten/kota membuat persoalan peran negara menjadi lebih kompleks karena tidak tertutup kemungkinan adanya realitas yang khusus di setiap daerah. Realitas yang khusus tersebut dapat mencakup persoalan tata ruang, tumbuhnya wilayah permukiman baru, atau absennya inisiatif pemerintah desa. Saat persoalan tersebut terus bergulir dan menghambat penyediaan lahan pemakaman yang universal, kebutuhan terhadap tempat pemakaman umum yang dapat diakses oleh setiap warganegara juga semakin meningkat.

Substansi PP No. 9 Tahun 1987 sendiri bukannya tanpa masalah. Konsiderans PP No. 9 Tahun 1987 lebih mencerminkan spirit pembangunanisme Orde Baru dengan melihat persoalan pertambahan penduduk dan peningkatan pembangunan sebagai pangkal dari perlunya pengaturan penyediaan makam.

Peraturan pemerintah tersebut juga dibuat dengan landasan konsep Hak Menguasai Negara atas tanah sehingga pemerintah berwenang mengatur peruntukan tanah, dan bukan karena adanya tanggung jawab negara terhadap kematian warga negara. Akibatnya, penyediaan lahan makam selau dianggap masalah sekunder dalam pemerintahan.

Padahal kematian dalam peradaban manusia bukan sekedar berdimensi personal, tetapi juga memiliki dimensi kolektif dan spiritual. Dimensi kolektif dapat dilihat ketika kematian seseorang diperingati setiap tahun. Makam kemudian menjadi monumen untuk mengenang dan merefleksikan perjalanan hidup dari subjek yang telah tiada tersebut. Makam sekaligus menjadi bagian dari dimensi spiritual ketika diposisikan sebagai monumen memento mori bagi manusia, yaitu sebagai pengingat bahwa setiap manusia juga akan mengakhiri perjalanan hidupnya di dunia (Sneddon, 2014).

 

Perubahan Regulasi Makam

Persoalan regulasi dalam perspektif tanggung jawab negara dalam penyediaan makam menjadi persoalan sentral yang seharusnya dikoreksi. Sampai saat ini tidak ada Undang-Undang yang mengatur secara spesifik tentang penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan ketersediaan lahan makam.

Sudah waktunya bagi pemerintah menyusun peraturan perundang-undangan dengan menekankan tanggung jawab negara dalam mewujudkan akses universal terhadap lahan pemakaman. Idealnya, pengaturan ini dimulai di tingkat Undang-Undang untuk kemudian diadopsi di tingkat daerah. Namun gerakan di tingkat daerah juga dapat dimulai dengan pengaturan pada Peraturan Daerah.

Pembentukan Peraturan Daerah di tingkat kabupaten/kota untuk mengatur persoalan ini menjadi penting karena potensi konflik. Potensi konflik ini terkait dengan interpretasi teks agama tentang boleh tidaknya makam orang berbeda agama berdampingan tanpa pemisahan. Padahal, situasi keberagaman komposisi demografi di zaman ini tidak terhindarkan karena mobilitas manusia yang begitu cepat dan masif sehingga negara seharusnya mengantisipasi dampak dari percepatan mobilitas tersebut.(*)