SURABAYA, JAWA TIMUR – Diskusi kedua dalam Seri Diskusi “Makam dan Tanggung Jawab Negara”, Rabu (10/04/2019), menghadirkan Putu Rudy Setiawan dari Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Putu Rudy mempresentasikan bahan paparannya yang berjudul “Makam, Spatial Text and Context”.
Menurut Putu Rudy, sebelum kita menempatkan makam dalam perspektif tata ruang, maka kita perlu lebih dahulu memaknai ruang dalam perencanaan wilayah. Pemaknaan ruang selama ini cenderung didominasi teknokrasi. Pada akhirnya ruang tidak diwujudkan dalam posisi kesetaraan antara para perancang dan subjek-subjek yang hidup dalam ruang tersebut.
“Jika dikaitkan dengan makam, regulasi tata ruang di Indonesia menggolongkannya dalam Ruang Terbuka Hijau yang kemudian berdampak pada munculnya problem-problem baru,” ujar Putu Rudy. Problem tersebut antara lain pedoman spasial yang tidak memperhatikan aspek kebhinnekaan, bias wilayah perkotaan dan pedesaan, serta makam akhirnya sebatas menjadi “residu” agar memenuhi syarat 30% Ruang Terbuka Hijau di perkotaan.
Problem-problem tersebut, menurut Putu Rudy, memunculkan beberapa pemikiran yang perlu dielaborasi oleh pembuat kebijakan. Pertama, pemaknaan ruang untuk makam seharusnya bukan sebagai “residu” yang ditempatkan di pinggiran tetapi justru menjadi bagian penting dalam praktik interaksi masyarakat. Kedua, kebijakan tata ruang soal makam harus menghilangkan bias perkotaan dan pedesaan. Ketiga, penempatan makam sebagai Ruang Terbuka Hijau dapat berimplikasi pada pengabaian terhadap penyediaan lahan makam di tingkat desa sehingga diperlukan pemaknaan kembali terhadap posisi makam dalam kebijakan tata ruang kita. (rhs)