Pada hari senin, 11 Oktober 2021 BEM Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika mendapatkan undangan untuk menjadi audience dalam acara talkshow Hukum di Tengah Kita di JTV. Tema yang diangkat dalam talkshow tersebut adalah Kebebasan Berpendapat versus Ujaran Kebencian di Era Digital, dengan narasumber Wildan Alberd selaku Kasubnit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim dan Johan Avie sebagai Ketua Young Lawyers Committee DPC Peradi Surabaya.
Dalam talkshow tersebut disampaikan Wildan Alberd dasar pengenaan pada pelaku yang menyebarkan berita bohong adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tetang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 . Pasal 27 mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, yang khususnya dalam ayat (3) menentukan Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Selanjutnya adalah Pasal 28 ayat (1) yang menentukan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Ujaran kebencian itu menyebar kebencian atas dasar SARA. Hal ini bisa masuk dalam tindak pidana ujaran kebencian. Ujaran kebencian berusaha memprovokasi dengan berita-berita yang tidak benar. Dilakukan dengan cara adanya video yang dipotong-potong kemudian ditambahi dengan kata-kata yang bersifat provokatif dan disebarkan dalam rangka membentuk kebencian massa. Pihak Kepolisian berusaha menangkalnya, khususnya Siber Polda Jatim dengan cara menshare edukasi terkait dengan ujaran kebencian sebagai perbuatan yang dilarang melalui media sosial yang ada seperti instagram, youtube dan lain-lain.
Johan Avie menyebutkan awal mula hate speech atau ujaran kebencian terjadi pada tahun 2017-2018. Ujaran kebencian itu menyebarkan kebencian atas dasar SARA. Konsep kebebasan berpendapat dan ujaran kebencian secara hukum berbeda. Dalam ujaran kebencian itu mengajak melakukan sesuatu yang masuk kategori SARA. Masyarakat Indonesia sangat mudah menerima informasi di internet, sehingga perlu untuk diedukasi supaya memiliki kemampuan critical thinking dan perlu verifikasi pemberitaan, agar tahu berita itu benar atau tidak. Selain itu perlu membentuk kohesi sosial di masyarakat, salah satunya adalah proses peradilan yang komprehensif melalui penerapan restorative justice. Hal ini dilakukan dalam rangka agar apabila ada ketersinggungan bisa diselesaikan dengan baik-baik, tidak harus berakhir dengan pidana penjara. (*)