INDUSTRI KAIN LOKAL PERLU PERHATIKAN ASPEK HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

SURABAYA, JAWA TIMUR – Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika (FH UKDC) bekerjasama dengan Ikatan Alumni Asian Institute of Management Indonesia (IAAIMI) mengadakan kegiatan Webinar pada tanggal 20 Maret 2021 dengan tema “Kearifan Lokal Indonesia dalam Batik Madura, Tenun Sumba dan Serat Samia”.

Latar belakang kegiatan ini adalah pandemi covid 19 yang berdampak pada ekonomi Indonesia, khususnya produk kain lokal seperti batik, kain tenun, dan serat samia. Webinar ini menghadirkan narasumber yang memiliki kompetensi dalam mengangkat kreatifitas dan produktifitas kain yang berbasis kearifan lokal, antara lain Erwita Dianti dari Kemenparekraf, selaku Direktur Industri Kreatif Fesyen, Desain dan Kuliner, Kementerian Parwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), pelaku industri kain yang berbasis pada kearifan lokal, dan juga Dian Ety Mayasari, Dekan FH UKDC.

Lina Soeratman selaku Direktur Jalin Serat Nusantara memaparkan pentingnya ecopreneurship and sustainable fashion. Pemanfaatan serat samia menurut Lina karena industri di bidang fesyen menjadi penyebab tertinggi pencemaran lingkungan. Salah satu upaya mengurangi pencemaran lingkungan adalah produksi kain dan serat melalui proses pewarnaan alami.

“Konsep ini selain menarik minat konsumen juga memberikan kesejahteraan bagi pekerjanya secara berkelanjutan sehingga dengan demikian industri bidang fesyen bisa bertahan tanpa melakukan kerusakan lingkungan,” tutur Lina.

Embran Nawawi, salah satu desainer batik Madura, menyampaikan perkembangan industri batik di tanah air. Motif yang beragam serta filosofi yang terkandung di setiap motif batik mempengaruhi perkembangan tersebut. Pandangan Embran tersebut juga dipertegas oleh Harining Mardjuki selaku Peneliti Rumah Budaya Sumba

“Perkembangan batik juga didorong kehadiran media sosial yang mengenalkan budaya Sumba bagi generasi muda sehingga meningkatkan pariwisata di Sumba dan banyak komunitas yang sangat peduli pada kelestarian tenun Sumba karena sadar untuk selalu menjaga kearifan lokal,” ungkap Harining.

Untuk memperkuat berbagai gagasan tersebut, Dian Ety Mayasari selaku pengajar hak kekayaan intelektual di FH UKDC memaparkan pentingnya perlindungan hak kekayaan intelektual agar mempermudah konsumen dalam mengenal produk batik. Perlindungan karya seni batik ini ada dalam Pasal 40 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menentukan bahwa karya seni batik menjadi salah satu ciptaan yang dilindungi sebagai bagian ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.

“Karya seni batik yang dilindungi adalah motif batik kontemporer yang bersifat inovatif, masa kini, dan bukan tradisional. Karya tersebut dilindungi karena mempunyai nilai seni, baik dalam kaitannya dengan gambar, corak, maupun komposisi warna. Sedangkan Karya seni motif lain adalah motif yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, motif tenun ikat, motif tapis, motif ulos, dan seni motif lain yang bersifat kontemporer, inovatif, dan terus dikembangkan,” ungkap Dian.

Selain hak cipta, karya seni batik juga bisa dilindungi dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Batik menjadi bagian Indikasi Geografis karena sesuai pengertiannya sebagai tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

Terjalinnya kerjasama antara FH UKDC dengan IAAIMI merupakan bagian dari bidang pengajaran dalam rangka edukasi publik. Hal ini dilakukan sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah dalam melestarikan produk kain yang berbasis pada kearifan lokal dan siap berkompetisi di tengah kemajuan teknologi yang semakin pesat. (vin)