Generasi milenial jangan membiarkan dirinya apolitis dan pasif dalam menghadapi narasi konservatifisme di media sosial. Narasi konservatifisme harus dilawan dan bahkan didebat dengan rasional.
Pesan tersebut disampaikan Amin Mudzakkir, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Seri Diskusi Pemilu yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika, Jumat (26/10/2018). Diskusi tersebut juga diisi oleh Arya Fernandes dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Abraham Sridjaja dari Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Menurut Amin, generasi milenial harus terbuka untuk berjejaring dengan orang-orang yang berbeda ideologi di media sosial agar dapat melihat pandangan lain. Bahkan lebih jauh lagi, mendiskusikan dan mendebat narasi konservatifisme agar tidak menjadi narasi utama di media sosial.
“Algoritma media sosial membuat kita cenderung hanya terkoneksi dengan jaringan yang preferensinya sama dengan kita. Pada akhirnya media sosial tidak dapat menjadi jembatan dialog bagi kelompok yang berbeda ideologi”, imbuh Amin.
Arya Fernandes menambahkan adanya kecenderungan generasi milenial untuk menghindari isu-isu politik. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari hasil survei CSIS di tahun 2017 dan 2018. Generasi milenial juga cenderung tidak tertarik untuk terlibat dalam kerja-kerja politik di akar rumput.
Abraham Sridjaja melihat fenomena tersebut justru harus disikapi politisi muda dengan membuat kreasi kampanye yang lebih berciri budaya populer. Generasi milenial tidak lagi tertarik dengan metode rapat umum yang mendatangkan massa dalam jumlah besar.
Untuk itu, Arya dan Abraham sepakat bahwa partai politik perlu membuka akses struktural seluas-luasnya bagi generasi milenial agar dapat memberi warna dalam politik Indonesia. Partai politik juga harus menjalankan meritokrasi agar generasi milenial dapat melihat adanya jenjang karier politik dalam partai. (vin)