KPBU HARUS LAYAK SECARA FINANSIAL DAN DIJAMIN PEMERINTAH

SURABAYA, JAWA TIMUR – Pemerintahan periode 2014-2019 membangun beberapa infrastruktur penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pembiayaan pembangunan infrastruktur tersebut bukan hanya bersumber dari APBN tetapi juga melalui Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau yang dalam bidang hukum secara global dikenal dengan istilah Public Private Partnership (PPP). Skema PPP tersebut dapat memunculkan berbagai isu hukum, khususnya terkait dengan: hubungan hukum antara pemerintah dan swasta, kondisi dan perkembangan regulasi di Indonesia dan relevansinya dengan skema PPP dalam pembangunan infrastruktur.

FH UKDC membahas konsep PPP dan KPBU secara khusus melalui webinar yang menghadirkan Ida Bagus Rahmadi Supancana (Guru Besar Universitas Katolik Atma Jaya Indonesia) dan Sri Bagus Guritno (Direktur Pengembangan Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas) pada Jumat (20/11/2020) melalui aplikasi Zoom. Webinar yang dihadiri 153 partisipan ini memunculkan berbagai isu hukum dalam implementasi KPBU.

“Idealnya KPBU harus memenuhi 3 kriteria, yaitu layak secara ekonomi, layak secara finansial, dan bankable. Agar bankable maka perlu ada jaminan dari pemerintah melalui PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia,” ujar Sri Bagus Guritno.

 

 

Skema KPBU sampai dengan 19 November 2020 telah menghasilkan 7 proyek yang beroperasi. Beberapa di antaranya adalah jalan tol Batang-Semarang, Pandaan-Malang, dan Balikpapan-Samarinda. Selain itu masih ada 9 proyek dalam tahap konstruksi serta 43 proyek dalam tahap persiapan.

Walaupun regulasi KPBU cukup lengkap, tetapi tidak tertutup peluang munculnya masalah dalam praktik di lapangan. Supancana memaparkan beberapa persoalan dalam skema kerjasama pemerintah dengan badan usaha.

“Pengadaan tanah sebenarnya menjadi kewajiban pemerintah. Namun seringkali dalam proyek-proyek justru pengadaan tanahnya tidak berjalan lancar sehingga mempengaruhi investasi,” ujar Supancana.

Selain itu, dasar hukum KPBU tidak ringkas dan kuat karena tersebar di beberapa regulasi. Padahal pihak swasta cenderung menginginkan adanya dasar hukum yang tunggal. Dasar hukum yang tersebar di berbagai regulasi menimbulkan persepsi ketidakpastian hukum.

Diskusi selama webinar juga menghasilkan isu-isu aktual yang terkait kerjasama pemerintah dengan badan usaha. Persoalan pemburuan rente juga disoroti agar menghasilkan birokrasi yang bersih dan efisien. (*)